Adzan, Iqamah dan Nida’ Dalam Shalat Ied ?

Sebagaimana berlaku dalam kebiasaan shalat hari raya yang sudah kita laksanakan setiap tahunnnya bahwa tidak ada panggilan adzan maupun iqamah dalam pelaksanaan shalat ‘ied. Kebiasaan ini sudah terbentuk di masyarakat Islam di Indonesia, bahkan didunia.

Sehingga kalau ada sekelompok orang tertentu menggelar kegiatan shalat ied dengan diawali adzan dan iqamah sebagaimana shalat maktubah, hal itu menjadi perbuatan diluar kebiasaan masyarakat Islam saat ini, maka akan terlihat aneh, bahkan memungkinkan adanya tuduhan dari pihak-pihak tertentu.

Didalam kitab Al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i, Imam al-Imrani menjelaskan,

ولا يُسن الأذان والإقامة للعيد، قال الشافعي: (فإن أذن، وأقام … كرهته) . وبه قال كافة أهل العلم
“Tidak sunnahkan adzan dan iqamah untuk pelaksanaan shalat ‘ied. Imam al-Syafi’i berkata: “Jika mengkumandangkan adzan dan iqamah, aku memakruhkannya”, seluruh ulama berpegang dengan pendapat ini”.

Imam al-Syafi’i memakruhkan bila seandainya ada kumandang adzan dam iqamah dalam shalat ied. Tetapi ternyata dalam sejarah, banyak dikutip adanya sebagian orang yang melakukannya.

وقال سعيد بن المُسيب: أول من أحدث الأذان والإقامة في العيدين معاوية. وقال ابن سيرين: أول من أحدث ذلك مروان، ثم أحدثه الحجاج. وقال أبو قلابة: أول من أحدث الأذان في العيدين ابن الزبير
“Said bin al-Musayyab berkata: “orang pertama yang mengada-adakan adzan dan iqamah didalam shalat hari raya adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan”. Ibnu Siriin berkata: “orang yang pertama melakukan hal tersebut adalah Marwan, kemudian al-Hajjaj”. Abu Qilabah berkata: “orang yang pertama adalah Ibnu Zubair”.

Ada banyak pendapat mengenai siapa yang pertama kali membuat-buat perkara baru (muhdats) didalam pelaksanaan shalat ied tersebut.

Imam al-Imrani dalam kitabnya berkata:

فلم يختلفوا أنه محدث، وإنما اختلفوا في أول من أحدثه
“Ulama tidak berbeda pendapat bahwa hal itu (adzan dan iqamah dalam shalat ied) adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats), namun mereka berselisih pendapat tentang siapa orang yang pertama kali mengada-adakannya”.

Tidak adanya adzan dan iqamah dalam shalat ied ini ditegaskan didalam sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas :

أن النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صلى العيد، ثم خطب بغير أذان ولا إقامة
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat ied, kemudian berkhutbah, tanpa ada adzan dam iqamah”.

Sebagaimana diketahui bahwa adzan merupakan pemberitahuan/pengumuman untuk pelaksaan shalat. Sedangkan shalat ied adalah shalat yang dilakukan berjamaah atau diikuti oleh orang banyak. Lantas dengan apa memanggil atau mengumpulkan orang-orang untuk mulai melaksanakan shalat ied?. Dalam hal ini Imam al-Syafi’i berkata:

قال الشافعي: فإذا خرج الإمام إلى المصلى، فالسنة: أن ينادى لها: الصلاة جامعة
“Apabila seorang imam sudah keluar menuju tempat shalat, maka sunnah menyerukan/melakukan panggilan shalat (nida’) dengan lafadh “Ash-shalatu Jami’ah”.”

Hal tersebut sebagaimana riwayat Az-Zuhri bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang muadzdzin untuk melakukan nida’ (seruan) “Ashshalatu Jami’ah“.

Jadi, dalam hal ini memang tidak ada adzan dan iqamah, tetapi disunnahkan adanya nida’ atau seruan/panggilan lain untuk melaksanakan shalat. Memanggil untuk melaksanakan shalat tentunya bisa bermacam-macam, maka dari itu diperbolehkan juga nida’ dengan lafadh-lafadh lain, bahkan diperbolehkan menggunakan sebagian lafadh adzan sekalipun seperti Hayya alash shalah (mari mendirikan shalat) dan lain sebagainya.

قال الشافعي: (فإن قال: هلموا إلى الصلاة، أو حي على الصلاة … فلا بأس به – قال – وأحب أن يتوقى ألفاظ الأذان)
“Imam al-Syafi’i berkata: “Jika seseorang mengucapkan: Halummu ilash shalah (Kemarilah kalian laksanakan shalat), atau Hayya ‘alash shalat (Mari mendirikan shalat)… itu tidak apa-apa, tetapi aku suka untuk tidak mengggunakan lafadh-lafadh adzan”.

Terkait dengan hal tersebut, jika kita selami khazanah fiqih, ternyata ada pula yang mensunnahkan penggunaan “Hayya alash shalah” (sebagian lafadh adzan) dan ada pula yang memakruhkannya. Meskipun yang tepat adalah tidak makruh, hanya lebih utama tidak menggunakan bagian dari lafadh adzan.

وَقَالَ صَاحِبُ الْعُدَّةِ لَوْ قَالَ حي على الصلاة جاز بل هو مستحب وقال الدارمي لَوْ قَالَ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ كُرِهَ لِأَنَّهُ مِنْ أَلْفَاظِ الْأَذَانِ وَالصَّوَابُ مَا نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ وَأَنَّ الْأَوْلَى اجْتِنَابُهُ واجتناب سائر الفاظ الاذان
“Pengarang kitab al-‘Uddah berkata: seandainya seseorang mengucapkan “Hayya alash shalah” itu boleh bahkan mustahab (sunnah). Sedangkan Ad-Darimi berkata: itu dimakruhkan karena bagian daripada lafadh adzan. Dan yang shawab (pendapat yang tepat) adalah sebagaimana nas Imam al-Syafi’i bahwa itu tidak dimakruhkan tetapi yang aula (lebih utama) adalah menghindarinya dan menghindari seluruh lafadh adzan”. (Al-Nawawi, al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab 5/15).

 

[4bd] Sepaku, 24 Juni 2017
Bacaan: Al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi’i dan al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*