Puasa Ramadlan Bagi Wanita Yang Istihadlah

Salah satu kodrat seorang wanita adalah mengalami haidl atau menstruasi. Kadang (kebanyakan) wanita mengalami haidl secara normal sehingga darah yang keluar benar-benar darah haidl dan sesuai dengan kebiasaan keluarnya darah haidl. Namun, terkadang ada kondisi tertentu yang menyebabkan keluarnya darah, selain darah haidl. Misalnya, apa yang biasa dikenal dengan darah Istihadlah.

Masa haidl bagi wanita, paling singkat atau minimal adalah sehari semalam, sedangkan masa haidl paling lama adalah 15 hari dan malamnya. Sedangkan ghalibnya (kebiasaannya), seorang wanita mengalami masa haidl selama 6 atau 7 hari. Adapun masa suci seorang wanita yaitu masa suci antara dua haidl paling sedikit (singkat) adalah 15 hari. Dan tidak ada batasan maksimal untuk masa suci seorang wanita. Bahkan wanita bisa tidak mengalami haidl selama setahun, dua tahun, bahkan bertahun-tahun.

Selanjutnya, apabila seorang wanita melihat adanya darah didalam waktu yang kurang dari batas minimal masa haidl atau kurang daripada sehari-semalam, atau melihat adanya darah melebihi batas maksimal masa haidl yaitu 15 hari dengan malamnya, maka darah tersebut dihukumi sebagai darah Istihadlah, bukan darah haidl.

Apakah wanita yang mengalami istihadlah atau mustahadlah tetap wajib puasa atau tidak. Ulama menjelaskan sebagai berikut,

هذا الدم ينقض الوضوء، ولا يوجب الغسل، ولا يوجب ترك الصلاة ولا الصوم، فالمستحاضة تغسل الدم، وتربط على موضعه، وتتوضأ لكل فرض، وتصلي
“Darah ini (istihadlah) membatalkan wudlu, tidak mewajibkan mandi, tidak mewajibkan meninggalkan shalat dan puasa. Wanita yang istihadlah membasuh (membersihkan) darah tersebut dan mengikat (menutup) tempatnya. Seorang wanita harus berwudlu’ untuk setiap kefardluan kemudian melakukan shalat. ” [1]

قَال الْبِرْكَوِيُّ مِنْ عُلَمَاءِ الْحَنَفِيَّةِ: الاِسْتِحَاضَةُ حَدَثٌ أَصْغَرُ كَالرُّعَافِ. فَلاَ تَسْقُطُ بِهَا الصَّلاَةُ وَلاَ تَمْنَعُ صِحَّتَهَا أَيْ عَلَى سَبِيل الرُّخْصَةِ لِلضَّرُورَةِ، وَلاَ تُحَرِّمُ الصَّوْمَ فَرْضًا أَوْ نَفْلاً، وَلاَ تَمْنَعُ الْجِمَاعَ – لِحَدِيثِ حَمْنَةَ: أَنَّهَا كَانَتْ مُسْتَحَاضَةً وَكَانَ زَوْجُهَا يَأْتِيهَا – وَلاَ قِرَاءَةَ قُرْآنٍ، وَلاَ مَسَّ مُصْحَفٍ، وَلاَ دُخُول مَسْجِدٍ، وَلاَ طَوَافًا إِذَا أَمِنَتِ التَّلْوِيثَ. وَحُكْمُ الاِسْتِحَاضَةِ كَالرُّعَافِ الدَّائِمِ، فَتُطَالَبُ الْمُسْتَحَاضَةُ بِالصَّلاَةِ وَالصَّوْمِوَكَذَلِكَ الشَّافِعِيَّةُ، وَالْحَنَابِلَةُ، قَالُوا: لاَ تُمْنَعُ الْمُسْتَحَاضَةُ عَنْ شَيْءٍ، وَحُكْمُهَا حُكْمُ الطَّاهِرَاتِ فِي وُجُوبِ الْعِبَادَاتِ،
Al-Birkawi (ulama Hanafi) berkata: istihadlah merupakan hadats kecil seperti mimisan. Ia tidak menyebabkan gugurnya shalat, tidak mencegah sahnya shalat karena adanya rukhshoh kondisi darurat, tidak haram melakukan puasa fardlu maupun sunnah, tidak terlarang melakukan jima (seperti riwayat dalam hadits Hamnah, saat ia kondisi istihadlah, suaminya mendatanginya/menjima’nya), tidak juga haram membaca al-Qur’an, menyentuh mushaf, masuk ke masjid, thawaf selagi aman dari mengotori masjid. Hukum istihadlah seperti halnya hukum mimisan yang terus-menerus, sehingga wanita yang istihadlah tetap dituntut melakukan shalat dan puasa. Demikian pula pendapat kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah. Mereka berkata, wanita yang istihadlah tidak terlarang dari sesuatu apapun. Hukum wanita istihadlah adalah hukum wanita yang suci dalam menjalankan kewajiban-kewajiban ibadah. [2]

Berdasarkan hal diatas, hukum wanita istihadlah adalah suci sehingga wajib berpuasa, demikian pula kewajiban-kewajiban yang lainnya. Bagi wanita istihadlah tidak wajib qadla’ puasa sebab hukumnya adalah wanita suci dan berpuada. Namun demikian, dalam melakukan shalat atau beberapa kewajiban lain ada ketentuan khusus didalam hukum fiqih.

Penulis : 4bd. / Pengajar sekolah formal

Catatan Kaki
[1] Al-Fiqhu al-Manhaji fil Fiqh al-Syafi’i
[2] Al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah (3/209)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*