Pengertian, Hukum dan Adab I’tikaf di Masjid

Di bulan Ramadlan, umat Islam biasanya mulai banyak membahas mengenai i’tikaf, khususnya pada hari-hari sepuluh terakhir bulan Ramadlan. Dalam kitab Al-Fiqhu al-Manhaji,  I’tikaf secara bahasa berarti berdiri diatas sesuatu dan menetapinya. Sedangkan menurut istilah syara’ adalah

اللبث في المسجد بنية مخصوصة
“Berdiam / tinggal didalam masjid dengan niat tertentu”

Didalam kitab Fathul Qaribul Mujib dijelaskan

وهو لغةً الإقامة على الشيء من خير أو شر، وشرعًا إقامة بمسجد بصفة مخصوصة
“Secara bahasa adalah berdiri/tegak diatas sesuatu, baik maupun buruk. Secara istilah syara’ adalah menetapi (berdiam) di masjid dengan cara tertentu”.

Asal daripada disyariatkannya i’tikaf adalah firman Allah SWT :

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“janganlah kamu campuri mereka (wanita) itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid” [QS. Al-Baqarah: 187]

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ، حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ»
“Dari Aisyah ra., bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikad pada 10 terakhir bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istrinya pun beri’tikaf setelah beliau”. (HR. Muslim)

Jika diperhatikan, ternyata syariat i’tikaf ini merupakan syariat umat-umat terdahulu, sudah dikenal sebelum Islam. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT surah Al-Baqarah ayat 125:

وَإِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْناً وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud”.

HUKUM I’TIKAF
I’tikaf hukumnya adalah sunnah pada setiap waktu (kapan pun). Sementara pada bulan Ramadlan lebih dianjurkan, dan pada 10 terakhir Ramadlan lebih ditekankan lagi (muakkadah). Namun bila bernadzar melakukan i’tikaf untuk dirinya maka hukumnya wajib karena nadzar tersebut. Berdasarkan inilah, setidaknya hukum I’tikaf ada 3 macam :

1. Istihbab (sesuatu yang sangat dianjurkan / disunnahkan). Hukum sunnah ini mutlak berlaku kapan saja.

2. Sunnah Muakkadah (sunnah yang ditekankan) yaitu pada 10 terakhir bulan Ramadlan. Hikmah dari penekanan ini karena mencari atau berupaya untuk mendapatkan lailatul Qadr, malam yang paling mulya. Menurut jumhurul ulama (mayoritas ulama), lailatul Qadr ada pada sepuluh malam terakhir Ramadlan.

3. Wajib yaitu dalam kondisi nadzar.

Untuk mendapatkan i’tikaf yang sah, maka harus memenuhi dua syarat: Pertama, niat melakukan i’tikaf ketika hendak memulai i’tikaf yaitu niat berdiam di masjid dalam waktu tertentu untuk ta’abbud (ibadah) sebagai realisasi daripada sunnah.

Contoh niat didalam hati :

نَوَيْتُ الاِعْتِكَافَ فِي هَذَا الْمسَجِدِ لِلهِ تَعَالى
“Aku niat i’tikaf didalam masjid ini karena Allah Ta’ala”

Kedua, berdiam didalam masjid. Sepatutnya berdiam di masjid tersebut dalam jangka waktu yang dalam kebiasannya dinamakan i’tikaf, tidak cukup sekadar thuma’ninah, bahkan lebih dari itu.

SYARAT KEBOLEHAN BERDIAM DI MASJID
Adapun syarat-syarat kebolehan berdiam di masjid, antara lain suci dari janabah (junuh), suci dari haidl dan nifas, pakaian dan badan bersih dari najis yang bisa mengotori masjid.  Jika seseorang keluar dari masjid tanpa ada udzur maka terputus (batal) i’tikafnya, namun jika keluar karena adanya udzur kemudian kembali maka tidak terputus, hukum i’tikafnya tetap berlangsung.

BEBERAPA ADAB TENTANG I’TIKAF
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai adab ketika melakukan I’tikaf yaitu

  • Seorang yang beri’tikaf dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan amal-amal keta’atan seperti dzikir kepada Allah, membaca al-Qur’an, mudzakarah (membahas) ilmu dan lain sebagainya untuk mencapai tujuan daripada i’tikaf tersebut.
  • Berpuasa, karena melakukan i’tikaf dengan disertai puasa itu afdlal, lebih kuat untuk meredam syahwat dan keinginan nafsu, serta lebih mudah untuk menjaga kebersihan jiwa.
  • Hendaknya i’tikaf di masjid Jami’, masjid yang digunakan untuk pelaksanaan shalat Jum’at.
  • Tidak berbicara kecuali hal-hal yang baik, tidak mencela, mencaci maki, menghina, pembicaraan ghibah, mengadu domba (namimah) dan obrolan yang sia-sia.
[4bd]

Referensi Al-Fiqhu al-Manhaji ala Madzhab al-Imam al-Syafi’i

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*