Hukum Puasa Tarwiyah dan Puasa ‘Arafah

Puasa hari Tarwiyah dilaksanakan pada tanggal 8 Dzulhijjah sedangkan puasa hari Arafah dilaksanakan tanggal 9 Dzulhijjah. Kedua hari tersebut diambil momentum melaksanakan puasa oleh umat Islam karena keutamaan yang ada didalamnya. Penamaan hari Tarwiyah ada beberapa sebab, diantaranya dinamakan Tarwiyyah dinisbatkan kepada pembicaraan Nabi Ibrahim ‘alahissalam mengenai mimpinya (perenungan Nabi Ibrahim) yaitu mimpi menyembelih anaknya Ismail alaihissalam.

Kesunnahan puasa hari Tarwiyah pada dasarnya masuk dalam kesunnahan puasa pada sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah, sekaligus kesunnahan memperbanyak ibadah pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana keutamaannya banyak diterangan didalam hadits. Oleh karena itu, seandainya memulai puasa mulai tanggal 1 Dzulhijjah atau hari pertama bulan Dzulhijjah maka hal tersebut memperoleh seluruh keutamaannya.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ» ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ»
“Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada hari yang mana amal shalih yang dilakukan didalamnya lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari yang sepuluh (Dzulhijjah)”. Sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?”, Rasulullah menjawab: “Tidak pula jihad fi sabilillah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan membawa dirinya dan hartanya, kemudian tidak kembali dengan membawa sesuatu apapun (mati syahid)”. (HR.At-Tirmidzi)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الحِجَّةِ، يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ، وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ القَدْرِ»
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hari-hari yang lebih dicintai Allah untuk beribadah kepadanya didalamnya daripada sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah, dimana puasa setiap hari dari hari tersebut disamakan dengan puasa setahun, dan mendirikan shalat pada malamnya seperti shalat di malam al-Qadr”. (HR. al-Tirmidzi)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ الْعَمَلُ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ، فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ ”
“Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada hari-hari yang lebih agung disisi Allah dan lebih cintai oleh Allah dalam beramal didalamnya daripada hari-hari yang sepuluh, maka perbanyaklah kalian melakukan ibadah didalamnya seperti tahlil , takbir dan tahmid”. (HR. Ahmad)

Didalam kitab al-Majmu’ syarh al-Muhadzdzab diterangkan:

وَمِنْ الْمَسْنُونِ صَوْمُ شَعْبَانَ وَمِنْهُ صَوْمُ الْأَيَّامِ التِّسْعَةِ مِنْ أَوَّلِ ذِي الْحِجَّةِ وَجَاءَتْ فِي هَذَا كُلِّهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ
“Termasuk puasa sunnah yaitu puasa Sya’ban dan puasa hari-hari sembilan daripada awal bulan Dzulhijjah, dan telah banyak hadits-hadits tentang hal tersebut”.

Apalagi bulan Dzulhijjah juga termasuk daripada Asyhurul Hurum (bulan-bulan yang mulya) yang juga disunnahkan puasa:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَمِنْ الصَّوْمِ الْمُسْتَحَبِّ صَوْمُ الاشهر الحرم وهي ذوالقعدة وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبٌ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ قَالَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ أَفْضَلُهَا رَجَبٌ وَهَذَا غَلَطٌ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِي سَنَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ الله تعالى ” افضل الصوم بعد مضان شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ ”
“Ashhab kami berkata: termasuk puasa mustahabb (sunnah) adalah puasa Asyhurul Hurum yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Yang paling utama adalah puasa bulan Muharram, sementara Imam Ar-Ruyani didalam kitab Al-Bahr berkata “yang paling utama adalah bulan Rajab” namun ini tidak tepat berdasarkan hadits Abu Hurairah “Puasa yang paling utama setelah Ramadlan adalah bulannya Allah yaitu Muharram”.

Sedangkan mengenai puasa Arafah terdapat didalam hadits Muslim:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالسَّنَةَ الْبَاقِيَةَ
“Dari Abu Qatadah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wallsam ditanya mengenai puasa hari Arafah, Rasulullah menjawab: “Bisa menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang”.

Maksud dari menghapus setahun yang lalu atau yang akan datang didalam tersebut, sebagai berikut jelaskan didalam Al-Hawi al-Kabiir:

وَفِيهِ تَأْوِيلَانِ: أَحَدُهُمَا: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ ذُنُوبَ سَنَتَيْنِ. وَالثَّانِي: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَعْصِمُهُ فِي هَاتَيْنِ السَّنَتَيْنِ فَلَا يَعْصِي فِيهِمَا،
“Didalam hadits tersebut ada dua takwilan (pengertian), Pertama, Allah Ta’ala memberikan ampun untuknya atas dosa-dosa yang dilakukan selama 2 tahun, Kedua, Allah Ta’ala menjaganya selama masa dua tahun tersebut sehingga tidak melakukan kedurhakaan (dosa) didalamnya”.

Kesunnahan puasa Arafah ini bagi orang yang tidak melaksanakan haji, sedangkan bagi yang melaksanakan haji disunnahkan berbuka (tidak puasa) agar bisa lebih maksimal berdo’a dihari tersebut karena pahala do’a dihari tersebut sangat dibesarkan oleh Allah.

Imam al-Nawawi secara panjang lebar menjelaskan sebagai berikut:

(أَمَّا) حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ لِغَيْرِ مَنْ هُوَ بِعَرَفَةَ (وَأَمَّا) الْحَاجُّ الْحَاضِرُ فِي عَرَفَةَ فَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ وَالْأَصْحَابُ يُسْتَحَبُّ لَهُ فِطْرُهُ لِحَدِيثِ أُمِّ الْفَضْلِ وَقَالَ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا يُكْرَهُ لَهُ صَوْمُهُ وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِكَرَاهَتِهِ الدَّارِمِيُّ وَالْبَنْدَنِيجِيّ وَالْمَحَامِلِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ وَالْمُصَنِّفُ فِي التَّنْبِيهِ وَآخَرُونَ وَنَقَلَ الرَّافِعِيُّ كَرَاهَتَهُ عَنْ كَثِيرِينَ مِنْ الْأَصْحَابِ وَلَمْ يَذْكُرْ الْجُمْهُورُ الْكَرَاهَةَ بَلْ قَالُوا يُسْتَحَبُّ فِطْرُهُ كَمَا قَالَهُ الشافعي
“Hukum masalah ini adalah Imam Asy-Syafi’i dan ashhab menyatakan: disunnahkan puasa hari Arafah bagi orang yang tidak berada di Arafah (tidak berhaji). Adapun bagi orang yang berhaji yang ada di Arafah, disunnahkan baginya berbuka (tidak puasa) berdasarkan hadits Ummu Fadlil. Sekelompok dari ulama kami berkata: dimakruhkan bagi orang yang berhaji berpuasa, diantara yang secara jelas memakruhkannya adalah al-Darimi, al-Bandaniji, al-Mahamili, mushannif, dan beberapa ulama lain. Ar-Rafi’i menaqal kemakruhannya dari banyak ashhab tanpa menyebut mayoritas memakruhkan, bahkan mereka (mayoritas) sebatas mensunnahkan berbuka seperti pendapat Imam Asy-Syafi’i”.

NIAT PUASA TARWIYAH DAN ‘ARAFAH

Didalam puasa wajib seperti puasa Ramadlan, niat harus dilakukan dimalam hari atau tabyitun niyyah (mulai terbenam matahari sampai terbitnya fajar) atau , berbeda dengan puasa sunnah, niat boleh dilakukan disiang hari sebelum zawal (tergelincirnya matahari) selama belum memakan atau minum apapun mulai dari fajar. Demikian pula didalam puasa sunnah, tidak disyaratkan adanya ta’yin (menentukan jenis puasa sunnah yang dilakukan), namun selayaknya menyebutkan jenis puasanya.

Imam al-Nawawi menjelaskan didalam Al-Majmu’ :

(وَأَمَّا) صَوْمُ التَّطَوُّعِ فَيَصْحُ بِنِيَّةِ مُطْلَقِ الصَّوْمِ كَمَا فِي الصَّلَاةِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي أَنْ يُشْتَرَطَ التَّعْيِينُ فِي الصَّوْمِ الْمُرَتَّبِ كَصَوْمِ عَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ مِنْ شَوَّالٍ وَنَحْوِهَا كَمَا يُشْتَرَطُ ذَلِكَ فِي الرَّوَاتِبِ مِنْ نَوَافِلِ الصَّلَاةِ
“Puasa sunnah, sudah sah dengan niat mutlak puasa, sebagaimana didalam shalat, seperti inilah ashhab mempraktekkannya, dan selayaknya disyaratkan adanya ta’yin didalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa Ayyamul Biydl, puasa enam hari di bulan Syawal dan lainnya, sebagaimana disyaratkan hal itu didalam shalat sunnah rawatib”.

 

Maka dari itu, niat puasa ‘Arafah sudah terpenuhi minimal dengan adanya unsur al-qashdu (menyengaja puasa) seperti lafadz Nawaitu (aku niat) kemudian selayaknya tambah dengan ta’yin (menentukan jenis puasa) seperti lafadz ‘Arafah.

Berikut contoh niat puasa Tarwiyah dan niat puasa ‘Arafah:

نَوَيْتُ صَوْمَ التَّرْوِيَّةَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعالى
Artinya: “Aku niat puasa Tarwiyah sunnah karena Allah Ta’ala”

نَوَيْتُ صَوْمَ عَرَفَةَ سُنَّةً لِلَّهِ تَعالى
Artinya: “Aku niat puasa Arafah sunnah karena Allah Ta’ala”

[4bd]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*